Budilaksono.com...Salam Inspiratif, Kepada bapak ibu bahwa penanganan
penyakit tidak lagi menjadi bahan fokus pembudidaya saja, kekompleksan
tantangan yang satu ini harus sudah ditangani secara terintegrasi dan
terorganisir
Konsep
berbudidaya tentu tak pernah lepas dari kualitas lingkungan dan penyakit.
Khususnya penyakit, hal yang satu ini sudah menjadi langganan resiko yang mesti
dihadapi setiap pembudidaya dimanapun mereka berada.
Sebagai
salah satu peringatan dini penyakit, Direktur Jenderal Perikanan Budidaya
Kementerian Kelautan dan Perikanan (DJPB KKP), Slamet Soebjakto mengatakan,
daerah Pantai Utara Jawa (Pantura) menjadi favorit untuk aktivitas budidaya.
Tapi, juga menjadi favorit kedatangan penyakit.
“Hal
ini tak lepas dari sejarahnya bahwa daerah Pantura sudah dimanfaatkan untuk
aktivitas budidaya sejak jaman kerajaan. Merupakan tanah tua yang sudah sering
dimanfaatkan, sehingga tidak heran jika penyakit banyak berkutat di daerah
ini,” ungkap Slamet.
Menurut sekretaris Jenderal DJPB Tri Hariyanto, tidak heran saban hari, semakin
kompleks permasalahan penyakit yang mendera aktivitas budidaya. Dan tidak hanya
seputar Pantura, Tri mengatakan, banyak kematian ikan akibat serangan penyakit
dan lingkungan yang menjadi permasalahan laten.
Tri
menekankan kondisi cuaca ektrim dengan intensitas hujan yang tinggi, bisa
memunculkan kembali beberapa patogen penyakit. “Seperti Motil Aeromonas
Septicemia, Koi Herpes Virus (KHV), atau Vibriosis. Ini yang harus kita
waspadai, dengan sedini mungkin melakukan upaya mitigasi", tegas Tri.
Dia menambahkan mengingatkan potensi resiko jenis penyakit lintas batas baru yang
mengancam usaha perikanan budidaya seperti Acute Hepatopancreatic Necrosis
Disease (AHPND); White Feces Disease (WFD); Enterozyton hepatopenaei (EHP) dan
Tilapia Lake Virus (TiLV).
Sebabkan Kerugian
Dampak
penyakit pada perikanan budidaya dapat menimbulkan banyak kerugian. Antara
lain, penurunan produksi karena kematian, penurunan produktivitas seperti
pertumbuhan terhambat, efisiensi konversi pakan rendah, lingkungan budidaya
terkontaminasi hama dan penyakit ikan, hingga penurunan harga dan keuntungan.
Data
yang dikeluarkan DJPB pun melansir kerugian budidaya air tawar yang dialami
akibat penyakit ikan. Estimasi ini merangkum bahwa sektor perikanan budidaya
bisa merugi hingga Rp 672,5 miliar rupiah setiap tahunnya. Dengan estimasi
perhitungan ini didasarkan pada kerugian terendah yang mendera setra produksi
budidaya nasional (Tabel).
Dengan
ancaman kerugian yang membayangi aktivitas pembudidaya nasional, Tri pun
menyebut, perlunya upaya kerjasama lintas sektoral bahkan lintas negara
khususnya dalam mengantisipasi penyebaran penyakit ikan lintas batas. "
Mitigasi dan peringatan dini menjadi hak mutlak dilakukan. Peta sebaran
penyakit; kecenderungan penyebaran beserta pemicunya, dan langkah antisipatif
harus diketahui secara real time dan sampai ke pembudidaya secara cepat",
imbuhnya.
Sesuai Kebutuhan
Ekspor
Seiring
dengan kebutuhan ekspor yang juga meningkat, diperlukan strategi nasional yang
diharapkan bisa memenuhi standar kebutuhan negara-negara pengimpor dari
Indonesia. Sehingga, ucap Tri, dicanangkan Strategi Nasional Pengelolaan
Kesehatan Ikan dan Lingkungan (SNKIL) sebagai strategi umum yang komprehensif
untuk membangun dan meningkatkan kapasitas pengelolaan kesehatan ikan di Indonesia.
(Sumber : Trobos.com) Selengkapnya
baca di majalah TROBOS Aqua Edisi-70/15 Maret – 14 April 2018