Budilaksono.com...Salam
Inspiratif, Kepada bapak ibu bahwa ada beberapa alasan beragam peternak dalam
memilih sistem pemeliharaan untuk ayam petelurnya dengan mengacu pada aspek
produktivitas dan efisiensi bahkan kesejahteraan hewan
Peternak
layer (ayam petelur) umumnya menganut sistem postal untuk menghasilkan pullet
(ayam dara calon petelur). Pemeliharaan ayam sejak DOC (ayam umur sehari)
sampai dewasa siap produksi (pullet) dilakukan di kandang tak bersekat dan
berlantaikan sekam. Ketika memasuki masa produksi bertelur (layer) barulah ayam
dipindahkan ke kandang baterai.
Inilah
sistem budidaya yang dilakukan Roby Tjahya Dharma Gandawijaya, peternak layer
di Cigembong Sukabumi Jawa Barat berbeda dengan budidaya layer lainya. Peternak
generasi kedua ini justru mengandangkan secara postal layer masa produksi.
Alih-alih kandang baterai sebagaimana umumnya yang dilakukanpeternak layer
komersial lainnya.
Menurut
Roby, usaha orang tuanya yang sudah lama
menerapkan sistem kandang seperti itu. Ia mengungkapkan, sistem kandang dengan
postal diterapkan dalam usaha breeding broiler (pembibitan ayam pedaging) oleh
orang tuanya. “Breeding saja bisa menghasilkan, mengapa layer tidak bisa?
Prinsipnya, dua usaha itu tidak berbeda,” tandasnya. Lagipula, dalam sejarahnya,
dulupemeliharaan ayam petelur menggunakan sistem postal. Baru belakangan
penerapan kandang baterai dengan tujuan memacu produksi.
Sistem
postalini untuk layer diterapkan sejak
2005, dan telah memberikan performa yang tidak kalah dengan sistem baterai.
Bahkan sistem ini punya kelebihan, hasil telurnya memiliki kerabang lebih
tebal. Ini karena ayam banyak bergerak. “Seperti manusia yang sering olahraga
tulangnya tidak keropos, sementara yang duduk berlebihan biasanya keropos,” ujarnya
menganalogikan.
Menekankan
Kesejahteraan Hewan
Lama
berkiprah di industri perunggasan, tak membuat Roby berpuas diri. Ia tidak
ingin terlena dengan hasil yang sudah diterimanya. Ia pun terus melakukan perubahan
agar hasil yang diperoleh lebih maksimal. “Dulu kita mulai dengan ayam
pedaging, kemudian lanjut ke breeder, lalu beralih ke ayam petelur. Berjalannya
waktu, kita ditawari salah satu perusahaan vaksin untuk memenuhi kebutuhan
mereka. Dari situlah kita perlu memaksimalkan sistem pemeliharaandengan postal
ini,” ujarnya menjabarkan.
Pengalaman
Roby yang cukup lama tinggal di luar negeri dan melihat sistem pemeliharaan
layer dengan sistem free range (diumbar) menguji nyalinya untuk mencoba. Ia pun
menerapkan sistem tersebut untuk layerpeliharaannya. Konsepnya bukan free range
seperti di Eropa, tapi bisa disebut alternative management system. “Free range
kita tahu susah diterapkan di Indonesia. Bukan karena peternak tidak bisa
menerapkannya, cuma pertimbangan kondisi lingkungan yang tidak
menunjangsehingga kita buatkan alternatifnya,” paparnya.
Salah
satu faktoryang dipertimbangkan dalam menerapkan sistem iniadalah animal
welfare(kesejahteraan hewan). Ayam lebih diberi kebebasan melakukan insting
alaminya, tingkat stres lebih rendah dibanding dengan sistem baterai. Rendahnya
tingkat stres dengan sistem free range disebabkan karena ayam mendapatkan ruang
gerak yang banyak. “Dari awal beternak, arahnya sudah ke animal welfare. Konsep
animal welfare benar-benar dijalankan baru dua tahun belakangan karena banyak
yang harus kita persiapkan,” ungkapnya.
Roby
mengatakan, free range ala farm-nya ini dimulai dengan pakan, yakni tidak
menggunakan antibiotic growth promoter (AGP). “Sebelum pemerintah melarang
penggunaan AGP, kita sudah lebih dulu menyetop penggunaannya. Sehingga bahan
baku kita pilih betul dan tanpa protein hewani. Ketika ayam responnya baik,
baru kita upgrade kandang dengan sistem mengikuti animal welfare,” akunya.
Sebelum
sistem free range dijalankan 2 tahunlalu, manajemen pemeliharaan masih
dilakukan secara manual, seperti pemberian makan dan pengambilan telur. Namun
mulai tahunlalu,manajemenkandang seluruhnya sudah dilakukan secara otomatis.
“Hasilnya bagus. Pakan sudah menggunakan feeder, minum melalui nipple,
pengambilan telur menggunakan auto nest,” ujarnya.
Roby
saat ini mempunyai 2 kandang layer dengan sistem free range. Per kandang diisi
ayam sekitar 6– 7 ribu ekor dengan kepadatan 1 : 5. Setiap kandangdibagi
beberapa pan dengan 1 pan diisi sekitar 400 – 500 ekor. “Kandang dibuat pan
agar mudah untuk pengawasannya. Ketika ayamterlihatkurang sehatatauayam
di-bully bisa kelihatan dan bisa langsung dipisahkan,” terangnya.
Selain
menyetop pemberian AGP danmengandalkan pakan dengan nutrisi tinggi, Roby
memberikan bahan-bahan penunjang (herbal) untuk kesehatan ayam. Kadang seminggu
sekali ada ritual pemberian sayur-sayuran. Hasilnya pada ayampun dinilai bagus,
yang berlanjut dengan meniadakan program vaksinasi. “Semenjak ayam itu sudah
bertelur, kita tidak pakai vaksinasi. Kontrolnya hanya dari titer, jadi kita ambil
darah setiap bulan,” katanya. Dengan konsep seperti itulah, Roby mengklaim
farm-nya merupakan satu-satunya yang menerapkan prinsip animal welfare di
Indonesia.
Meski
begitu, Roby mengakui, pemeliharaan dengan sistem baterai lebih terpantau,
pakan betul-betul terjaga, minum menggunakan nipple, penyebaran penyakit juga
bisa dikendalikan. Sementara kandang tipe postal, sistemnya koloni atau
berkumpul.Penanganan sekam pun harus betul-betul diperhatikan, jika tidak akan
bermasalah karena ayam mengeluarkan kotoran di tempatnyaberaktivitas. “Dengan
ayam beraktivitas tapi kotoran ada di sekitar ayam, penyakit akan ada pula di
sana,” ulasnya. Sementara dengan kandang baterai, kotoran jatuh ke bawah, sehingga
ayam jauh dari amonia.
Dengan
alasanitu pula yang menjadi pertimbangan Roby membuat kandangnya dengan sistem
panggung. “Tidak hanya free range, tapi kandang dibuat panggung dengan slatyang
bisa juga disebut kandang postal slat panggung,” sebutnya. Ia pun menjelaskan,
sekam disediakan di sisi kanan dan kiri untuk aktivitas ayam “mandi”. Meski
ayam bebas berkeliaran, kotoran akan jatuh ke bawah, sehingga pengontrolan
terhadap penyakit lebih mudah. “Makanya saya katakan kandang kita beda dengan
yang lain. Bahkan dapat dikatakan kandang seperti ini lebih baik dari kandang
breeding,” tandasnya semangat.
Namun
tak serta merta sistem free range diterapkan secara penuhsejak DOC. Roby justru
memelihara DOC hingga grower di kandang baterai. Menurutnya, DOC kalau
diibaratkan seperti manusia itu adalah bayi, yang harus diperlakukan beda
karena masih kecil. Ayam mesti dikasih makandanminum yang baik, sertaperlu
dibimbing. “Terus terang, kalau DOC hingga grower, kita masih menggunakan
metode seperti peternak lainlakukan yaitu dengan kandang baterai. Barulah
setelah ayam memasuki masa produksikita pindahkan ke kandang yang berkonsep
animal welfare,” ungkapnya.
Masa
transisi dari sistem pemeliharaandari periode grower menuju layer (produksi)
menjadi perhatian Roby.Biasanya perpindahan di umur kurang lebih 13 minggu,
kemudian masih butuh penyesuaian selama 2 minggu. Awalnya ayam makan dari
talang, kemudian pindah ke feeder. Apalagibiasanya ayam bertemu dengan 6 ekor
ayam lainnya dalam satu baterai, kemudian harus bersama dengan 400 ekor ayam
dalam satu pan. Ayam butuh waktu untuk penyesuaian agar tidak kaget. “Dengan
pemberian pakan yang bagus, minum yang terjaga, diharapkan bobot badan ayam
memenuhi syarat dan lebih seragam,” tukasnya.
Berdasarkan
pengalaman Roby, dengan sistem free range yang diterapkannya, faktor penyakit
bisa lebih dikendalikan karena pemeliharaan dilakukan secara maksimal. Ayam
betul-betul dipenuhi kebutuhannya agar dapat tumbuh optimal dan mampu
berproduksi sesuai harapan. “Ayam ibaratnya sudah seperti orang tua sendiri.
Filosofinya, apa yang diminta harus dituruti, tidak bisa nolak. Makanya harus
diperhatikan sekali, mulai dari pakan, minum, ventilasi pertukaran udara, alas
(slat), tempat bertelur (nest), tempat bertengger, tempat mandi (sekam) hingga
penanganan kotorannya,” paparnya.
Tak
hanya itu, dengan penerapan sistem free range ini berdampak pada sistem
penjualan telur hasil produksi, karena nilai investasi yang tinggi otomatis
harga jualnya pun menjadi tinggi. Apalagi sekarang ini banyak masyarakat yang
mulai beralih pola hidupnya, dengan membeli produk yang lebih sehat. “Kondisi ini
pula menjadi peluang bagi saya,” akunya.
Terlebih,
ada permintaan dari perusahaan vaksin yang membutuhkan telur fertil sehingga
dalam pemeliharaannya, dalam satu kandang tidak hanya betina melainkan ada
pejantan dengan perbandingan 1 : 10. “Ada pasar telur fertil untuk kebutuhan
vaksin yaitu clean eggs, juga ada pasar untuk konsumen di pasar-pasar modern,”
urainya.
General
ManagerPT Unigro Artha Persada, Teddy Chandra, mengakui, free range adalah
sistem pemeliharaan ayam petelur yang diterapkan di Eropa. Melalui sistem
pemeliharaan ini menjadikan ayam lebih bebas, tidak stres,dan lebih ke arah
animal welfare. Namun Teddy masih mempertanyakan perihal dari telur yang
dihasilkan. Apakah free range telurnya lebih “sehat”, artinya yang makan tidak
stres dan lain sebagainya? Karena ketika Teddy menanyakan kepada teman-temannya
di Eropa mengenai hal tersebut tidak banyak yang tahu bahkan tidak bisa
menjawab. “Animal welfare sudah pasti karena ayam lebih bebas, tidak terkekang
seperti di baterai. Namun, bagaimana cara mengukur efeknyake manusia?” tanya
Teddy.
Justru
berdasarkan pengamatan Teddy,saat ini peternak di Indonesiasudah mulai beralih
yang tadinya menggunakan sistem postal yang menuntut ayam bebas seperti free
range untuk menghasilkan pullet, ke sistem baterai. Bahkan dari baterai manual
ke baterai otomatis. Ia mengungkapkan, perusahaan peralatan kandang saat ini
sudah tidak bisa memasarkan produknya di Eropa, karena sistem baterai tidak
diperbolehkanlagi berkaitan dengan persoalan animal welfare. Oleh karenanya,
banyak perusahaan peralatankandang lari ke Asia, karena pasarnya masih terbuka
lebar.
Sebagai
penyuplai kandang sistem baterai, Teddy mengamati seberapa besar peternak layer
yang menggunakan sistem itu. Dari waktu ke waktu, peternak mulai sadar akan
kebutuhan bagi ayamnya agar produksi maksimal. Meski menurutnya pengguna
baterai manual masih sangat besar sekitar 80
% dari mulai makan, minum, hingga mengambil telur masih manual.
Sementara sisanya sudah menggunakansistem kandangbaterai otomatis.
Penggunaan
sistem kandangbaterai dinilai cukup baik, terlebih jika bicara mengenai
kualitas telur. “Telur free range, produksinya tidak setinggi telur baterai
karena ayam diumbar/dilepas. Meski sudah disediakan nest, ayam belum tentu
bertelur di situ, sehingga telur bisa ditemukan dimana sajadan kotor,” kilahnya.
(Sumber : Trobos). Selengkapnya baca di
majalah TROBOS Livestock Edisi 221/Februari 2018