Budilaksono.com....Salam
Inspiratif, Kepada bapak ibu yang suka berwirausaha tidak salah bila mencoba
pengolahan tambak udang skala mini. Tambak udang skala mini mulai merangsek ke
pekarangan masyakarat dengan istilah tambak skala rumah tangga. Cukup hanya
dengan luasan 300 m2 sudah bisa jadi tambak udang. Beda sekali dengan tambak
udang pada umumnya, yang mana petambak setidaknya harus bermodalkan lahan 1
hektar (ha).
Investasi Ideal
Se-asyiknya
menikmati produksi udang tanpa lahan besar ini, ada pula kekhawatiran di benak
petambak. Sedikitnya empat poin penting yang ditekankan oleh petambak. Yaitu,
pertama, investasi sesuai padat tebar dan luasan tambak.
Gamblang dan
singkat, Nonot Tri Waluyo Setjadi, inisiator kampung vannamei PT Centra
Proteinaprima pun menggambarkan investasi yang diterapkan petambak skala mini.
Yaitu, dengan luasan tambak mini, tekan Nonot, idealnya di kisaran 1.000 –
1.200 m2. Tapi, bila lahan yang dimiliki sempit dan modalnya sedikit, tambak
luasan 300 m2 sudah cukup bisa dimanfaatkan.
“Contoh luas
tambak 300 - 400 m2 dengan menggunakan 2 kincir, padat tebar 50 - 60 ribu ekor
per petak dengan target panen 0,75 - 1 ton. Investasinya kurang lebih Rp 35 -
Rp 45 juta, atau kurang lebih kita hitung per kg itu Rp 50 ribu, dengan sistem
panen parsial dimulai dari umur lebih umur 60 harian,” deskripsi Nonot.
Jika ukuran
tambak lebih besar, yakni 800 – 1.200 m2 menggunakan 4 kincir, target panen
sekitar 1,5 - 2 ton udang. Nonot menyebut, salah satu bank nasional mendorong
paket budidaya tambak mini mencontoh dari apa yang sudah kampung vannamei
terapkan.
Yakni satu
paket terdiri dari dua petak luasan 800 m2 untuk budidaya dan dua petak luasan
200 m2 untuk tandon. Sistem sudah intensif dengan kincir 4 unit per petak
budidaya dan 1 unit kincir per tandon. “Padat tebarnya 100 ribu ekor per petak
dengan target panen 1,5 ton. Dengan modal operasional sekitar Rp 60 - 75 juta,”
tambah Nonot. Cukup rendah dibanding modal petambak yang banyak didengar bisa
mencapai angka ratusan hingga miliaran rupiah per petak tambaknya.
Jika sudah
tahu nilai investasi berapa dan teknis budidaya dirasa cukup, tidak jarang
petambak mem-push diri untuk meningkatkan padat tebar. “Untuk padat tebar, saya
tingkatkan dari waktu ke waktu. Dari semula 100 ekor per m2, sekarang sudah 175
ekor per m2,” ungkap Muhammad Hosim, petambak skala mini di Bangkalan-Madura,
Jawa Timur.
Pengelolaan Air
Poin terpenting
yaitu pengelolaan airnya. Pada budidaya udang ini tidak lain tidak bukan, bisa
dilakukan dimana saja. “Ya, dimana saja, yang penting disiplin dalam
pengelolaan airnya. Artinya, walau jauh dari pantai, yang penting petambak bisa
mendapat air payau, serta disiplin untuk tidak asal pilih tempat sebagai lahan
tambak,” ingat Nonot.
Inti budidaya
udang skala mini ini layaknya harus punya reservoir(penampungan), tandon, dan
petak penampungan lumpur. Reservoir untuk menampung air asin, tandon untuk
treatment air sebelum masuk petak budidaya, serta penampungan lumpur sebelum
air olahan tambak dibuang keluar.
“Selama ini
petambak hanya cenderung punya tandon untuk tampung air masuk sebelum petak
budidaya. Namun sekarang, kita juga dorong wawasan petambak untuk berwawasan
lingkungan dengan setidaknya memiliki petakan pengendapan lumpur sebagai
pengolahan sebelum buang keluar,” terangnya.
Petakan
penampungan lumpur ini sebagai tempat pengolahan limbah lumpur dari petak
budidaya. “Air buangan dari tambak ditampung di petakan ini dan hanya air atas
yang dibuang keluar. Lumpur yang mengendap suatu saat bisa jadi pupuk atau
untuk pemanfaatan lain,” tambah Nonot.
Penerapan
Standard Operation Procedur (SOP) tambak udang skala mini pun tidak jauh
berbeda dengan tambak secara umumnya.
“Hanya saja, dari sisi usaha kita harus lebih tekankan efisiensi.
Misalkan tambak luasan 4.000 m2 investasi dengan 4 kincir akan berbeda dengan
tambak 1.000 m2 dengan 4 kincir. Dengan padat tebar sama, 25 ribu ekor per satu
kincir, tentunya akan lebih efisien tambak 1.000 m2,” ungkapnya.
Tentunya,
kata Nonot, dengan ada manajemen khusus lebih difokuskan pada tambak 1.000 m2.
Karena, kepadatan yang lebih tinggi pada luasan 1.000 m2 akan menghasilkan
limbah yang yang lebih tinggi sehingga manajemen pengelolaan airnya pun akan
berbeda fokusnya.
Kebutuhan Listrik
Khususnya
dalam tambak intensif yang sangat bergantung pada kincir untuk suplai oksigen,
nutrisi, dan buangan tambak. Karena bila dikaitkan bisnis efisien, juga tidak
jauh-jauh dari manajemen yang satu ini. Seperti yang diutarakan Hosim, listrik
sebagai sumber penggerak kincir masih menjadi kendala di daerahnya. Yang
nantinya, ditakutkan membebani pengaturan kebutuhan listrik dalam mengelola
tambak.
“Respon dari
PLN (Perusahaan Listrik Negara) masih sama. Mereka hanya katakan akan
usahakan,” keluhnya. Sejauh ini, keluhan Hosim adalah listrik yang digunakan
untuk tambak bergantung dari listrik untuk kebutuhan rumah tangga. Dan ketika
diaplikasikan ke tambak, kendala yang ia temui adalah tidak stabilnya tegangan
listrik sehingga sering ‘turun’.
Sementara,
menurut Cartensius dari Sumber Lancar (produsen kincir), sebetulnya kebutuhan
listrik rumah tangga ini bisa diantisipasi dengan kesiapan petambak. Apakah
sebetulnya petambak bertujuan untuk mengalokasikan asupan listrik rumah tangga
untuk tambak atau tidak.
Cartensius
mengklasifikasi kincir bagi petambak skala mini dengan mengklasifikasi
kebutuhan listrik yang ingin mereka alokasikan. “Tambak skala mini ini memiliki
dua tipe. Yakni mini dari ukuran tambaknya yang mini (idealnya luasan 700 m2 –
1.000 m2), atau kebutuhan listriknya yang mini. Dari situ, kita pun
merekomendasikan aplikasi kincir yang sesuai kebutuhan masing-masing tambak,”
terangnya.
Dia
menambahkan untuk petambak udang vannamei di luasan tambak mini, pada umumnya
kincir yang digunakan adalah ukuran ¾ HP (Horse Power) atau 1 HP dengan 1
Phase. “Idealnya untuk ukuran tambak 700 m2 ukuran kincir yang banyak digunakan
itu adalah ¾ HP dengan jumlah kincir 2 - 3 unit,” terangnya. (Sumber :
Trobos.com)