Budilaksono.com....Salam Inspiratif, Kepada bapak ibu bahwa ini
informasi bagi peternak perunggasan.
Pemerintah akan berlakukan larangan AGP pada Januari 2018. Mungkin
awalnya peternak akan melakukan try and error dengan bahan-bahan alternatif
non-antibiotik. Tapi peternak yang terbiasa memelihara ayam sesuai SOP dan
menjalankan biosekuriti dengan baik, dipastikan tidak akan menemui masalah yang
berarti
Memprihatinkan
memang penggunaan antibiotik seharusnya untuk mencegah infeksi bukan sebagai
pemacu pertumbuhan. Demikian komentar Muhammad Alfan Nurrohman, atas fakta
penggunaan AGP (Antibiotic Growth Promoter) di industri budidaya unggas tanah
air.
Peternak
pullet (dara calon ayam petelur) asal Malang ini mengungkapkan, sampai sekarang
masih banyak peternak dan feed mill yang menggunakan antibiotik sebagai pemacu
pertumbuhan atau AGP.
Penggunaannnya
terus menerus,diberikan hampir setiap pekan baik di pullet, broiler (ayam
pedaging) maupun layer (ayam petelur masa produksi). Program dari pabrikan
obat-obatan pun telah terjadwal. Pemberiannya bertujuan mengendalikan bakteri,
dengan target pertumbuhan ayam akan semakin cepat. “Tetapi sebenarnya itu salah
kaprah, antibiotik yang dianggap sebagai pemecah masalah justru bakal berbalik
menjadi pencetus masalah,” kata pria yang biasa disapa Alfan ini.
Menurut
Alfan, tak ubahnya pada manusia, ayam sehat tak semestinya konsumsi antibiotik.
“Jika
nutrisi cukup, pola hidup sehat,mengapa perlu antibiotik?” tanyanya retoris.
Lanjut Alfan, kalau food suplemen atau vitamin bisa jadi dibutuhkan,tapi antibiotik
tidak. Karena antibiotik sifatnya mematikan semua bakteri di usus padahal
bakteri baik masih diperlukan.Semestinya antibiotik tidak dianggap sebagai obat
dewa penyelamat ternak.
Sementara
menurut Direktur Utama PT ISSU Medika Veterindo, Sugeng Pujiono menegaskan tujuan
pemberian antibiotik tidak untuk mencegah dan perawatan, tetapi hanya untuk
mengobati penyakit bakterial.
Dan
Sugeng memberikan penjelasan yang sedikit berbeda. Ia meluruskan penggunaan
istilah pencegahan dalam aplikasi antibiotik yang selama ini banyak diterapkan,
terutama di awal umur kehidupan ayam. Pemberianantibiotik di umur dini,menurut
diabukan untuk mencegah munculnya penyakit tapi karena ada keraguan
terhadapkualitas DOC(ayam umur sehari).
Sugeng
pun mengakui ia masih menganjurkan pemakaian antibiotik di umur kecil, dengan
alasan DOC rentan penyakit, virus dan bakteri mudah masuk, tidak ada jaminan
DOC bebas bakteri, karena itu perlu dibersihkan dari bakteri yang
mengkontaminasi.Pemakaian antibiotik untuk DOC biasanya pada kandang terbuka(open
house)
Berikutnya,
pemberian antibiotik jelang pelaksanaan program vaksinasi. Syarat vaksinasi,
ayam tidak boleh sakit, maka untuk antisipasi agar ayambersih dari segala
penyakit sebelum vaksin maka diberi antibiotik. “Jadi menurut saya tujuannya
itu bukan untuk mencegah tapi membersihkan semua penyakit bakteri,” tegas dia.
Karena
dikhawatirkan1–2 hari setelah vaksin ternyata kena penyakit, yang berakibat
titer imun yang diharapkan tidak tercapai. Karena itudibersihkan dulu dari bakteri,
untuk memastikan sehat.
Pelarangan AGP
Diterbitkannya
UU PKH no 18/2009, bermakna aplikasi AGP tidak dibolehkan lagi. Larangan
tersebut bertujuan mencegah kejadian resistensi antibiotik, meskipun faktanya
sampai hari ini masih banyak yang menggunakan AGP dan aturan belum ditegakkan
sebagaimanamestinya. Dalihnya, industri
perunggasan (utamanya pelaku budidaya) belum sepenuhnya siap memproduksi ayam
dan telur tanpa AGP. Tetapi per 1 Januari 2018, pemerintah bakal memberlakukan
dengan tegas. Artinya, sanksi akan dijatuhkan bagi pelaku pelanggar.
Soal
pelarangan AGP, Sugeng punya pandangan, itu tidak perlu ditakutkan akan memicu
munculnya banyak penyakit. Seharusnya yang ditakuti bukan AGP melainkan
kualitas pemeliharaan ayam. Kalau litter bagus, skala pemeliharaan memadai,
tidak perlu khawatir. “Jadi kalau AGP dihentikan, kualitas manajemen di kandang
yang perlu diperbaiki,” saran dia.
Masalah
AGP, ia menambahkan pesan, jangan dijadikan masalah besar di peternakan, karena
masih banyak variabel lain yang menentukan keberhasilan budidaya, salah satunya
kedisiplinan.
Kemudian
menurut Muhamad Aura Maulana, Animal Health PT Bayer Indonesia, AGP selama ini
berfungsi untuk mengontrol bakteri gram positif seperti Clostridium perfringens
penyebab nekrotik enteritis (radang nekrosis usus). Pemberiannya di lapangan kadang
dikombinasi dengan colistin guna mengendalikan E. colidan Salmonella. Selain
itu juga untuk mengurangi populasi mycoplasma.
Sekarang,
mau tak mau AGP harus diganti dengan bahan lain. Dikatakan Aura, penggantinya
harus punya kemampuan untuk mengontrol Clostridium. Ia menyebut, selain
probiotik ada pula acidifier untuk melawan Salmonella dan E coli. Bahan
alternatif AGP tidak dapat digunakan secara tunggal, tetapi harus kombinasi
agar fungsi AGP tergantikan.
“Hingga
kini belum ada bahan alternatif yang secara tunggal memiliki fungsi serupa
dengan AGP, sehingga pemberiannya perlu dikombinasi. Karena itu, biaya
alternatif AGP biasanya lebih mahal. Belum ada solusi tunggal,” tambahnya.
Saatini
challenge atau tantangan lingkungan demikian tinggi,Aura mengimbuhkan saran,
pemberian probiotik dikombinasi dengan acidifier.
Peternak
harus mencari bahan yang biayanya kompetitif dengan antibiotik, karena biaya
antibiotik sangat murah dalam mengontrol penyakit. “Ia punya kelebihan,feed
costlebih murah dibandingkan bahan alternatif AGP,” kata Aura.
Aura
menggambarkan, penggunaan 2 macam AGP untuk melawan bakteri gram positif dan
negatif berbiaya Rp 40–70per kgpakan, sedangkan dengan bahan alternatif
non-antibiotik bisa jadi Rp 100 per kg pakan. Dan penambahan biayapasti
dibebankan ke harga akhir pakan atau konsumen.
Dan
untuk probiotik yang dicampur dalam pakan, kata Aura, harus dipilih yang tahan
terhadap panas sehingga selama proses pelleting pakan, kandungan bakteri
menguntungkan di dalamnya tidak rusak. Selain itu pilih yang antimikrobialnya
tinggi, ada metabolit antimikroba, dan memiliki kandungan mix organic acid
dengan teknologi capsulated.
Fakta Resistensi
Alfan
tak menampik fakta di lapangan, pemberian antibiotik secara full di masa
starter atau grower akan berpengaruh pada masa produksinya. Tak jarangkasus
penyakit dimasa produksisulit sekali diobati, yang kemungkinan besar
dikarenakan resistensi akibat banyak jenis antibiotik masuk tubuh ayam dimasa
starter dan grower. “Pertama karena faktor biaya. Kedua, dan merupakan faktor
utama, faktor resistensi,” tambahnya.
|
Photo Budidaya Layer Pullet di Pengusaha Muda Samino (Kades Wukirsari) Desa Wukirsari Kecamatan Tambakromo Pati |
Alfan mengaku hanya
memakai 2 jenis antibiotik yaitu amoxicillin dan colistin. Inilah cara pemakaiannya menurut Alfan yakni sebagai berikut :
- Pemakaian pertama, Pada
3 hari pertama sejak DOC datang, dengan target sistem pencernaan. “Umumnya antibiotik
yang digunakan peternak lain adalah jenis antibiotik untuk target sistem pernafasan,tapi
kami lebih memilih antibiotik untuk sistem pencernaan. Karena kami anggap
sumber infeksi pertama ada di sistem pencernaan,” terang dia. Ayam makan berpotensi memasukan sumber infeksi
asal pakan atau bahan baku pakan. Jadi dipastikan kontak infeksi pertama kali
terjadi di sistem pencernaan. Alasan dia menomorduakan sistem pernafasan,
karena sebelum DOC datang kandang telah didesinfeksi sedemikian rupa sehingga
relatif bersih dari agen infeksi, sehingga kontaminasi sistem pernafasan
minimal.
- Terapi kedua, Amoxcillin dan
colistin diberikan jika ada indikasi atau risiko infeksi coccidiadan
nekrotikenteritis, yang biasanya di umur 27 – 35 hari. Dan terapi diberikan
hanya seandainya gejala serangan cocci dan nekrotik enteritis muncul. “Terapi
dilakukan untukmencegah perlukaan padausus karena ditakutkan ada infeksi
bakterial clostridium penyebab nekrotik enteritis,” ucapnya.
- Perlakukan Ketiga, Perlakukan
ketiga ini menarget sistem pernafasan. Diberikan pasca vaksinasi ILT
(Infectious Laryngo Tracheitis) di umur 8 pekan, untuk mengatasi reaksi post
vaksinal. “Reaksi setelah vaksinasi memang harus keluarkarena ini reaksi
normalresponvaksinasiILT. Jadi ayam harus cekrek atau ngorok. Biasanya
berlangsung 1–2pekan pascavaksinasi,” terang Alfan. Reaksinya ditandai
dengankeluarair mata yang sedikit berbusa, danbulu di bagian sayap basah.
Ketika 25% populasi sudah menunjukkan reaksi sama, antibiotik jenis
DoxycyclinedanErythromycindiberikan.“Itu program antibiotik wajib di kandang
kami, diharapkan tidak ada pemberian antibiotik lagi setelah vaksinasi ILT.
Penggunaan antibiotik diminimalkan untuk mencegah bibit yang dijual resisten,
selain itu biaya antibiotik juga mahal,” ungkapnya.
Perlu Penyesuaian
Kendati
demikian, menyoal pelarangan AGP, Alfan berpendapat perlu penyesuaian terlebih
dahulu. “Negara kita adalah negara tropis dengan 2 musim punya tantangan
tersendiri yang berbeda dengan negara 4 musim. Berbeda pula dengan tingkat
teknologi yang digunakan, terlebih sekarang terjadi pergeseran cuaca,” tuturnya
berargumen.
Dengan
mayoritas kandang tipe tradisional, dan berada di daerah yang memiliki
kelembapan serta suhu tinggi, ternak rentan sekali terserang bakteri, virus,
dan mikroorganisme lainnya. “Apalagi ketika musim pancaroba seperti
sekarang,banyak terjadi kasus baikpenyakit infeksi maupun penurunan produksi.
Kalau larangan AGP diterapkan,apakah kita sudah siap, apakah pemerintah bisa
memberikan alternatif, apa yang perlu dilakukan peternak seperti kami?” cecar Alfan.
Tegasnya, jika AGP dilarang tanpa ada solusi,itu akan membingungkan peternak.
Untuk itu, menurut dia, perlu ada kebijakan tambahan terkait alternatif AGP.
Alfan
katakan penggunaan AGP dapat digantikan dengan pemberian produk probiotik yang
berisi bakteri menguntungkan dan bahan herbal yang telah difermentasi. Tetapi,
penggunaannya harus jangka panjangdan aplikasinyatidak semudah antibiotik.
“Jangka panjang karena diberikan mulai DOC datang sampai ayam afkir, biasanya
disemprot atau spray di pakan. Kalau populasi ratusan mudah, tapi untukpopulasi
puluhan sampai ratusan ribu tentutidak mudah,” jelasnya.
Menurut
dia, aplikasi probiotik merepotkan bagi tenaga kandang serta sulit menjaga
konsistensi. Ia mengaku menggunakan pakan jadi asal pabrikan, dan probiotik
digunakan 24 jam sebelum pakan diberikan. “Jadi perlu dieramkan dulu supaya
proses fermentasi berjalan baik. Ini tentu tidak mudah,” tambahnya.
Soal
biaya, Alfan berbeda dengan pandangan sebelumnya. Ia berhitung, biaya aplikasi
probiotik justru lebih rendah ketimbang penggunaan AGP. Pemakaian probiotik
sejak DOC datang sampai panen pullet sekitar umur 3 bulan, rata-rata
penggunaannya 3 liter per 1.000 ekor. Dengan harga sekitar Rp 100 – 200 ribu
per liter, maka biaya yang dikeluarkan untuk probiotik berkisar Rp 500 ribu per
1.000 ekor atau Rp 500 per ekor. Sedangkan untuk antibiotik, menurut hitungan
Alfan, biaya yang dikeluarkan Rp 1.000 per ekor. (Sumber : Trobos.com). Semoga informasi ini bermanfaat bagi peternak perunggasan.