Budilaksono.com....Salam Inspiratif, Kepada bapak ibu bahwa faktor kesuksesan budidaya ayam terletak pada patokan memilih pakan. Para peternak harus mencari ide berapa rupiah yang harus dikeluarkan untuk menghasilkan 1 kg telur?.
Ide
besarnya adalah memberdayakan peternak layer (ayam petelur). Peternak
dikenalkan teknik meramu atau formulasi pakan sehingga mampu memproduksi dan
memenuhi sendiri kebutuhan pakan ayam-ayamnya. Teknik ini umum dikenal dengan
istilah self mixing. Dengan mengenal cara ini peternak punya alternatif
pilihan, tak hanya mengandalkan atau tergantung pada satu sumber pasokan, pakan
keluaran pabrik.
Ini
disampaikan Hidayatur Rahman, peternak kawakan asal Blitar, Jawa Timur.
Peternak yang juga tokoh panutan peternak lain ini, getol menularkan ilmu self
mixing kepada peternak di seputar daerahnya. “Bukan berarti harus selamanya
self mixing atau anti pakan pabrikan, tetapi membuka adanya pilihan!” ujarnya
penuh semangat seperti biasanya.
Pria
yang akrab disapa Dayat ini menjelaskan, di waktu hitungan cost production
(biaya produksi) self mixing lebih menguntungkan, peternak bisa memilih self
mixing. Sebaliknya, saat harga pakan pabrikan hitungannya untuk menghasilkan
tiap kg telur lebih rendah, peternak bisa beralih ke pakan pabrikan. “Jadi
peternak punya pilihan rasional,” imbuhnya. Dengan terbukanya alternatif,
diharapkan posisi tawar peternak menjadi lebih baik.
Menyoal
hitungan keuntungan, menurut Dayat, basisnya adalah cost production. Berapa
rupiah yang harus dikeluarkan untuk menghasilkan 1 kg telur, adalah patokan
untuk menentukan pilihan pakan. “Jadi ukurannya tidak semata-mata harga murah
yang dikeluarkan saat membuat atau membeli pakan,” tutur dia.
Idealnya,
yang diupayakan peternak adalah bagaimana cost production bisa lebih rendah.
Sejauh ini, Dayat memastikan, ongkos yang dikeluarkan self mixing untuk
menghasilkan 1 kg telur mampu lebih rendah ketimbang menggunakan pakan
pabrikan.
Beralih ke Self
Mixing
Kawasan
seputar Blitar dan sekitarnya (Blitar, Kediri dan Tulungagung) dikenal sebagai
sentra peternakan layer. Menurut catatan Fitriono Widayanto, Feed Additive
Manager PT Biotek Indonesia untuk wilayah timur, di 2011 lalu gelombang besar
peternak di kawasan ini beralih ke self mixing. Sebelumnya, umum peternak
menggunakan pakan pabrikan yang dikenal dengan konsentrat (pakan padat nutrisi
protein) kemudian ditambahkan jagung dan dedak sebelum diberikan pada ayam.
Tapi
kini, banyak peternak meramu sendiri konsentratnya. “Karena tuntutan efisiensi,
dan harga pakan yang terus naik,” terang dokter hewan yang biasa disapa Rio
ini. Ia menyebut kisaran 80 % peternak di kawasan tersebut kini menganut self
mixing. Hanya di fase starter, ayam diberi pakan jadi. Mulai grower, atau 70
hari, ayam sepenuhnya mengandalkan pakan adukan sendiri. Bahkan, kata Rio,
sebagian memberikan pakan adukan sendiri sejak ayam umur 30 hari.
Fenomena
ini menjadi peluang bagi produsen maupun penyedia bahan baku untuk meningkatkan
market share di kawasan tersebut, termasuk Rio dengan produk premiks-nya.
Sebaliknya, produsen pakan pabrikan porsi bisnisnya belakangan menyusut,
termasuk Sierad Produce yang merupakan perusahaan grup tempat Rio bernaung.
“Ini dialami semua pabrik pakan,” kata dia.
Maka
kini yang lebih bertarung memperebutkan pasar adalah para penyedia bahan baku
baik bahan baku sumber protein, seperti bungkil kedelai (SBM), MBM (tepung
daging-tulang) atau PMM (tepung daging
ayam) yang umumnya pedagang, maupun bahan baku mikro seperti vitamin, mineral,
premiks, antibiotik, antijamur, atau imbuhan lainnya.
Pemasok
bahan baku mikro (feed additive) umumnya perusahaan obat hewan, salah satunya
Biotek. “Yang paling utama adalah premiks,” kata Rio. Strategi yang
ditempuhnya, dengan memberikan layanan konsultasi formulasi secara cuma-cuma
dan menggandeng pedagang pemasok bahan baku. Sehingga kebutuhan peternak bahan
baku makro dipenuhi dari pedagang, Biotek mengisi premiks plus formulasinya.
Alasan Efisiensi
Eko
Yudi Purwanto, dokter hewan pengelola 65 ribuan layer“Nugroho Farm” di Srengat,
Blitar mengaku sudah 4 tahun menganut self mixing. Sebelumnya, peternakan yang
berdiri 2003 ini menggunakan pakan pabrikan. Ini ditempuh sebagai strategi
efisiensi biaya pakan, di saat yang sama menjaga kualitas telur yang diproduksinya.
Eko
mengatakan, pakan murah tidak selalu menguntungkan. Bila produktivitas yang
didapat rendah, kualitas produksi rendah, itu tidak berarti apa-apa.
Sebaliknya, kendati biaya yang dikeluarkan lebih tinggi, bila hasil yang
diperoleh sepadan, ini berarti keuntungan. “Pakan dikatakan murah apabila
dengan harga yang bisa lebih ditekan mampu memberikan hasil yang standar,” kata
Eko.
Dikatakan
Eko, meski di waktu-waktu tertentu harga pakan self mixing tidak lebih rendah
dari pakan pabrikan, secara keseluruhan dalam rentang setahun self mixing jauh
lebih menguntungkan. Eko bisa memastikan karena 1 kandangnya dengan populasi 5
ribu ekor diberinya pakan pabrikan sebagai kontrol atau pembanding.
Hitungan
penghematan disodorkan Rio. Peternak, dengan self mixing dapat menghemat
sekitar Rp 200 – 300 per kg pakannya. “Kalau konsumsi ayam per hari 120 gram
per ekor dan penghematan Rp 100 saja per kg-nya, maka kepemilikan 100 ribu ekor
akan menghemat Rp 1,2 – 2,4 juta setiap harinya,” ia mengkalkulasi.
|
Photo Produksi Ayam Petelur di Kandang Samino Pengusaha pemula di perunggasan desa Wukirsari Kec. Tambakromo Pati |
Kualitas Produksi
Stabil
Dibenarkan
Rio, selain penghematan, alasan utama pilihan self mixing adalah kestabilan
produksi terjaga, tidak naik turun. “Potensi genetik jadi maksimal,” katanya.
Sebagaimana
ditempuh Eko. Ia berupaya mempertahankan kualitas produksi telur pada standar
tertentu dengan menjaga nutrisi pakan pada standar tertentu. Dengan self
mixing, Eko mengaku bisa memastikan bahan baku pakan yang digunakannya. Kontrol
bahan baku ada dalam kendali dia langsung.
Rio
mengatakan, peternak penganut self mixing biasanya memformulasi pakan dengan
kandungan protein lebih tinggi ketimbang pakan pabrikan. Untuk fase produksi
(layer) pakan pabrikan umumnya mencantumkan kadar protein (kasar) sekitar 18 %.
Sementara peternak self mixing biasa mematok angka 19 %. Eko mengamini, dengan
menyebut kisaran protein pakannya 18,5 – 19 %.
Tetapi
Eko menggarisbawahi, ia lebih berpatokan pada keseimbangan asam amino (unsur
penyusun protein) ketimbang patokan kadar total protein. Penggunaan jenis-jenis
asam amino esensial dalam formulasi jumlahnya harus berimbang. Keseimbangan ini
akan memberikan hasil bobot ayam dan telur yang baik.
Asam
amino esensial yang digunakannya antara lain lysine, methionin, methionin
cystine, threonin, tryptophan, serta valin dan arginin. Eko memisalkan, ia
memasukkan lysine di angka 900 dalam formulasinya, maka angka asam amino lain
akan mengikuti sesuai program keseimbangan. “Otomatis total protein tidak akan
jauh dari 18,5 – 19 %,” jelas dia.
Untung dan Untung
Hasil
dari self mixing, disebutkan Rio, keseragaman (uniformity) lebih baik, dan masa
puncak produksi (persistensi) bisa 23 – 24% lebih lama ketimbang penggunaan
pakan pabrikan. Standar, puncak produksi di angka 90% bisa berlangsung selama
40 pekan. Dengan self mixing ia menyebut rentang waktu 45 pekan.
FCR
(rasio konversi pakan) juga membaik. Catatan milik peternak yang dikutip Rio,
FCR yang sebelumnya ada di level 2,6 – 2,7 terkoreksi menjadi 2,2 – 2,3.
(Sumber : Trobos.com). Dan juga selengkapnya baca di majalah Trobos edisi April
2012.