Budilaksono.com....Salam
Inspiratif,Kepada bapak ibu bahwa banyak cara yang dilakukan para pembudidaya
lele dalam mencari jalan keluar dari persoalan terus melambungnya harga pakan
yang kini telah menembus Rp 8.300/kg. Mulai dari membuat pakan alternatif,
mencoba menerapkan probiotik, hingga cara-cara lain yang diluar standar.
Cara
yang cukup unik dan telah berhasil dilakukan oleh Suminto, marketing dan
pendiri Kelompok Pembudidaya Ikan (Pokdakan) dan UPR (Unit Perbenihan Rakyat)
Dumboys yang beralamat di Mandiraja, Banjarnegara, Jawa Tengah. “Kami justru
kembali ke cara organik, sistem air tertutup. Air tidak diganti dan tidak
ditambah jika tidak terpaksa,” kata penyuluh perikanan swadaya ini.
Menurut
Suminto, cara yang digunakan mengadopsi teknik flok/bioflok, meski tidak
secanggih teknik aslinya. Sistem ini tidak dimaksudkan untuk mempercepat panen,
tetapi untuk mengefisienkan penggunaan pakan dan menurunkan angka kematian.
Prinsip
Menurut
Technical Service PT Suri Tani Pemuka wilayah Banyumas Dwi Purnomo mengatakan,
kunci dari sistem tertutup ini adalah penggunaan kompos dan probiotik untuk
menumbuhkan pakan alami seperti daphnia dan flok yang dihasilkan oleh koloni
bakteri.
Daphnia
akan segera habis dalam beberapa hari sejak benih dimasukkan ke kolam. Setelah
itu adanya sisa-sisa pakan dan kotoran ikan yang mengandung unsur C dan N akan
dimanfaatkan oleh bakteri untuk membentuk flok.
Indikator
keberhasilannya adalah warna air kemerahan, tanda bahwa yang tumbuh adalah
bakteri, bukan plankton. “Tetapi karena kolamnya terbuka, sehingga saat
penghujan air masuk kolam. Sehabis hujan itu biasanya air menghijau karena
tumbuh plankton. Warna kemerahan terlihat nyata saat kemarau,” paparnya.
Pembuatan
Kompos
Suminto
menambahkan dengan menggunakan kompos dari kotoran sapi basah yang diperam
selama 20 hari – 1 bulan hingga tidak berbau. “Komposnya juga basah, toh nanti
juga akan dimasukkan ke kolam jadi tidak usah dikeringkan,” katanya.
Sebelum
difermentasi, setiap 100 kg kotoran sapi diberi larutan mengandung tetes tebu 2
kg, probiotik 60 ml, tepung ikan 4 kg,dan urea satu sendok makan. Setelah larutan
diaduk de dalam kotoran sapi, lalu ditutup dengan terpal. “Sebulan saya
menghasilkan 4 – 5 ton kompos basah. Sebagian saya jual Rp 1.000/kg,” terang
suminto.
Kompos
tidak mesti memakai kotoran sapi. Bisa juga dipakai kotoran ternak lainnya
seperti kotoran kambing maupun puyuh. “Tetapi pemeramannya (fermentasi) harus
lebih lama, karena sifatnya lebih ‘keras’,” jelasnya. Apalagi kotoran kambing
yang lebih padat, sebaiknya dipecah terlebih dahulu. Karena tidak mau repot dan
terlalu lama pengkomposannya. Dan suminto lebih tetarik menggunakan kotoran
sapi.
Sedangkan
menurut Dwi Purnomo, penggunaan tetes tebu, tepung ikan dan urea adalah untuk
memberi suplai unsur C/N pada bakteri dalam kotoran dan probiotik sebagaimana
prinsip flok di atas. “Urea hanya sedikit dipakai, hanya untuk membangunkan
bakteri dalam kotoran sapi,”jelasnya.
Sistem
Tertutup
Pak
Suminto membagi dua macam air untuk kolamnya. Pertama air baru yang akan
digunakan untuk budidaya. Air ini membutuhkan perlakuan khusus berupa
pengkomposan dan penumbuhan pakan alami agar bisa digunakan untuk budidaya.
Kedua air kolam bekas yang di-recycle/re-use agar bisa digunakan kembali. “Air
bekas jika ditangani dengan benar justru lebih baik karena didalamnya sudah ada
koloni bakteri yang dibutuhkan,” katanya.
Sebelum
menggunakan sistem air tertutup ini, harus menguras 10 petak kolam dari 70
petakan setiap hari. “Air cepat kotor, berbau, dan dinding bak/kolam juga
tertutup lumut. Sehingga boros waktu, tenaga dan air,”tuturnya suminto. Setelah
mengadopsi sistem baru ini, bau menyengat amonia maupun amis sisa pakan lenyap
tak bersisa dari kompleks kolamnya.
Demikianlah
informasi mengenai cara untuk efisiensi pakan lele untuk hasil panen yang
maksimal yang diterapkan oleh Suminto. Semoga dengan cara ini akan memberikan motivasi kepada petani ikan
lele dalam mengatisifasi harga pakan yang semakin mahal. Semoga info
bermanfaat. (sumber: Trobos dalam bibitikan)