Budilaksono.com....Salam
Inspiratif, Kepada bapak ibu bahwa banyaknya sekolah kurangnya pemahaman pihak sekolah mengenai aturan main
pengeloaan pendanaan pendidikan menjadi faktor dominan terjadinya pungutan
liar.
Menurut Inspektur
Investigasi Itjen Kemendikbud, Suyadi menjelaskan Undang-Undang Nomor 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun
2008 tentang Pendanaan Pendidikan, mengatur sumber biaya satuan pendidikan
dasar dan menengah berasal dari APBN, APBD, sumbangan, dan sumber lain yang
sah.
Bila melihat penjelasan diatas bahwa pendidikan dasar menjadi pendidikan wajib dan
ditanggung pemerintah, melalui standar pelayanan dari pemerintah. "Di
lapangan, standar ini berubah tiap tahun mengikuti tingkat kemahalan di setiap
daerah," ujar Suyadi, Kamis (24/8).
Pada
sisi lain, terdapat tuntutan dari pihak orang tua yang menghendaki layanan
pendidikan dengan standar lebih baik. Oleh
sebab itu untuk sekolah berupaya lakukan improvisasi untuk memenuhi tuntutan
dan kenyataan tersebut.
Suryadi mengatakan, celahnya, teman-teman di sekolah tidak paham aturan
mainnya. Padahal tiap sekolah pasti mempunyai keinginan memajukan sekolah.
Tapi, keinginan tersebut tidak dipayungi hukum untuk membeli ini dan itu.
Contohnya dalam hal pengangkatan guru oleh pihak sekolah. Ketika terdapat
sekolah yang memiliki kekurangan guru, kepala sekolah berusaha mencari guru
agar ada yang mengajar. "Improvisasi dilakukan mengangkat guru, padahal
pemerintah daerah yang berwenang untuk mengangkat guru,” ujarnya.
Akibatnya,
terdapat peningkatan jumlah tenaga guru honorer di daerah. Ini bentuk
penyimpangan yang tidak sadar, sampai kementerian mengambil kebijakan untuk
membiayai guru honorer dari dana BOS.
Menurut
Suyadi, pemda harus miliki unit cost untuk mengatur besaran biaya pendidikan yang
diperlukan di suatu daerah. Itu sebabnya Kemendikbud terus mendorong pemerintah
daerah untuk menerbitkan unit cost pendanaan pendidikan. "Penerapan
unit cost harus memiliki payung hukumnya untuk menghindari klaim sebagai
pungutan liar. Kalau sekarang kan tidak ada payung hukumnya sehingga diklaim
sebagian pihak sebagai pungutan liar,” tegasnya.
Walaupun
begitu, Suyadi mengatakan, tidak keliru juga karena prosesnya juga keliru.
Mestinya musyawarah untuk mufakat, ini mufakat dulu baru musyawarah. "Celakanya
lagi ini dibagi sama rata antara yang kaya dengan yang miskin. Padahal
aturannya kan tidak boleh seperti itu," pungkas Suyadi. (Sumber : Jawapos)
Demikianlah
informasi tentang kurangnya pemahaman sekolah dalam mengelola uang pendidikan.
Itu bisa dilihat dari sekolah yang menerima guru honorer sendiri tampa koordinasi
kepemerintah dan tampa adanya payung
hukum, sehingga akan membengkaknya
penggalangan dana ke masyarakat. Harusnya hal ini tidak terwujud bila
sekolah memahaminya. Semoga informasi ini bermanfaat.