Budilaksonoputra....Lidah tidak bertulang maka jagalah setiap perkataan. Dan katakan dengan jujur walau patih rasanya. Jangan katakan dusta karena bahanya sangat besar.
Imam Abu Hamid Al Ghazali, seorang
tokoh tasawuf yang sangat masyhur di kalangan umat Islam, yang telah mengarang
sebuah kitab yang tebal berjudul Ihya’ Ulumuddin, Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama.
Kitab tersebut tidak hanya berbicara dalam masalah tasawuf, yang dalam bahasa
salafush shalih disebut tazkiyatun nafs, tetapi juga berbicara masalah fiqih
dengan coral mazhab Syafi’i.
Meskipun kitab Ihya’ Ulumuddin adalah kitab yang populer di masyarakat, bukan
berarti kitab ini tanpa cacat. Bahkan banyak didapati kitab ini menggunakan
berbagai hadits dha’if dan maudhu’. Oleh karena itu, perlu kehati-hatian saat
menelaah kitab ini. Adalah Imam Al Iraqi yang mencurahkan kemampuannya untuk
mentakhrij dan mentash-hih hadits-hadits dalam kitab ini dan menunjukkan
mana-mana yang bisa diamalkan dan mana yang harus ditinggalkan dari kitab ini.
Syaikh Sa’id Hawwa, yang merangkum kitab Ihya’ Ulumuddin dan mengambil intisari
tasawufnya, menulis kitab Tazkiyatun Nafs. Dalam satu pembahasannya mengenai
penyakit lisan, dituliskan betapa bahayanya penyakit bernama dusta.
Secara pribadi, saya sangat membenci dusta dan didustai. Oleh karena itu,
semoga Allah menghindarkan saya dan Anda dari penyakit akut nan berbahaya yang
boroknya terus-menerus melebar ini. Dusta tidak akan berdiri sendiri dalam satu
kali dusta, akan tetapi ia akan membuat dusta-dusta berikutnya untuk menutupi
dusta yang lampau.
Mari simak penjelasan Syaikh Sa’id Hawwa berikut:
Berdusta dalam Perkataan dan Sumpah
Ini termasuk dosa-dosa yang amat buruk dan aib yang keji. Ismail bin Wasith
berkata, Aku mendengar Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu ‘Anh berkhutbah
setelah wafat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Ia berkata, “Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah berdiri di tempatku ini pada tahun pertama
—kemudian Abu Bakar menangis— seraya bersabda:
“Sesungguhnya dusta membawa kepada kedurhakaan, sedangkan kedurhakaan menyeret
ke neraka, dan sesungguhnya seseorang berdusta hingga ditulis di sisi Allah
sebagai pendusta.”[1]
Al Hasan berkata. “Pernah dikatakan bahwa berbedanya antara yang lahir dan yang
batin, antara perkataan dan perbuatan, antara yang luar dan yang dalam adalah
termasuk nifaq. Sesungguhnya dasar yang menjadi landasan nifaq adalah
kedustaan.”
Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Adalah pengkhianatan besar jika kamu menyampaikan suatu pembicaraan kepada
saudaramu; dimana ia mempercayaimu dengan pembicaraan tersebut padahal kamu
mendustainya dengan pembicaraan itu.” [2]
Ibnu Mas’ud berkata, Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:“Seorang hamba berdusta dan terus berdusta hingga ditulis di sisi Allah sebagai
pendusta.”[3] “Sesungguhnya para pedagang adalah orang-orang yang durhaka.” Ditanyakan,
“Wahai Rasulullah, bukankah Allah menghalalkan jual beli?” Nabi Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam menjawab: “Ya, tetapi mereka bersumpah lalu berdosa, dan berbicara
lalu berdusta.” [4]
“Tiga orang yang Allah tidak berbicara kepada mereka dan tidak melihat mereka
pada hari kiamat: Orang yang suka membangkit-bangkit pemberiannya, orang yang
melariskan dagangannya dengan sumpah palsu, dan orang yang menurunkan bagian
bawah sarungnya (karena sombong).” [5]
“Tidaklah bersumpah orang yang bersumpah dengan nama Allah kemudian dia
memasukkan ke dalamnya (kedustaan) seberat sayap nyamuk melainkan hal itu
merupakan noda di dalam hatinya hingga hari kiamat.”[6]
Abu Dzar Radhiyallahu ‘Anh berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
“Tiga orang yang dicintai Allah: (1) orang yang berada dalam suatu regu lalu ia
menegakkan lehernya hingga terbunuh atau Allah membukakan (pintu kemenangan)
untuknya dan para shahabatnya, (2) orang yang mempunyai tetangga jahat yang
menyakitinya lalu ia bersahabar atas gangguannya itu hingga kematian atau
kepergian memisahkan antar-keduanya, (3) dan orang yang bersama suatu kaum
dalam suatu perjalanan atau sariyah lalu mereka berjalan dalam waktu. yang lama
hingga mereka ingin menyentuh bumi (untuk tidur) maka mereka pun turun
(menginap), tetapi ia menepi melakukan shalat hingga ia membangunkan
teman-temannya untuk berangkat (lagi). Dan tiga orang yang dibenci Allah: (1)
pedagang atau penjual yang suka bersumpah, (2) orang miskin yang sombong, (3)
dan orang bakhil yang suka membangkit-bangkit (pemberian).”[7]
Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:“Celaka bagi orang yang berbicara kemudian berdusta supaya orang-orang menertawakannya,
celaka dia, celaka dia.” [8]
Aku (bermimpi) melihat seolah-olah ada orang yang datang kepadaku seraya
berkata “bangunlah”, lalu aku bangkit bersamanya, kemudian tiba-tiba aku
bertemu dua orang lelaki; yang satu berdiri sedangkan yang lain duduk. Di
tangan orang yang berdiri ada pengait dari besi lalu menjejalkannya ke dagu
orang yang duduk lalu menariknya hingga sampai ke pundaknya, kemudian ia
menariknya lalu menjejalkannya ke sisi yang lain lalu memanjangkannya; apabila
ia memanjangkannya maka sisi yang lain kembali seperti semula. Kemudian aku
bertanya kepada orang yang membangunkan aku, ‘apa ini?’ Ia berkata, ‘Ini adalah
seorang pendusta yang disiksa di kuburnya hingga hari kiamat’.”[9]
Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Tiga orang yang Allah tidak berbicara kepada mereka, tidak melihat mereka, dan
tidak mensucikan mereka; dan bagi mereka siksa yang pedih: (1) orang tua yang
berzina, (2) raja yang pendusta, (3) dan orang miskin yang sombong.”[10]
Abdullah bin Amir berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam datang ke
rumah kami sedangkan aku seorang anak kecil, kemudian aku pergi untuk bermain
lalu ibuku berkata, ‘Wahai Abdullah, kemarilah, aku ingin memberimu’. Kemudian
Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Apa yang ingin engkau berikan
kepadanya’?” Ibuku berkata, “Kurma.” Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda: “Jika kamu tidak memberinya niscaya kamu ditulis satu kedustaan atas
dirimu.”[11]
Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Seandainya Allah memberiku ni ‘mat sebanyak ilalang ini niscaya aku
membagikannya diantara kalian kemudian kalian tidak mendapatiku seorang yang
bakhil, tidak juga pendusta dan tidak pula pengecut.”[12]
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam keadaan bersandar: “Maukah
aku berita-hukan kepada kalian tentang dosa-dosa besar yang paling besar, yaitu
menyekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.” Kemudian Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam duduk dan bersabda: “Ketahuilah dan berkata
dusta.”[13]
Ibnu Umar berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Sesungguhnya seorang hamba berdusta sekali sehingga malaikat menjauh darinya
sejauh perjalanan satu mil karena busuknya apa yang diperbuatnya itu.”[14]
Anas Radhiyallahu ‘Anh berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
“Sambutlah aku dengan enam hal niscaya aku menyambut kalian dengan surga.” Para
shahabat bertanya, “Apa saja?” Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Apabila salah seorang diantara kamu berbicara maka-janganlah berdusta, apabila
berjanji maka janganlah mengingkari, apabila diberi amanat maka janganlah
mengkhianati, tundukkan’lah pandangan ‘Kalian, jagalah kemaluan kalian, dan
tahanlah tangan kalian,” [15]
Umar Radhiyallahu ‘Anh berkhutbah pada suatu hari ialu berkata, Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah berdiri di tempatku ini seperti aku berdiri
di tengah-tengah kalian, lalu beliau bersabda;
“Berbuat baiklah kepada para shahabatku kemudian orang-orung yang menyusul
mereka… Kemudian kedustaan tersebar Luas hingga seseorang bersumpah atas suatu
sumpah tanpa diminta bersumpah dan memberi kesaksian tanpa diminta untuk
memberi kesaksian.”‘[16]
Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Siapa yang menyampaikan suatu hadits dariku sedangkan dia tahu bahwa hadits
itu dusta maka dia termasuk salah seorang yang berdusta kepadaku.”[17]
“Siapa yang bersumpah dengan suatu sumpah yang berdosa untuk mendapatkan harta
seorang Muslim tanpa berhak maki dia akan bertemu Allah sedangkan Dia murka
kepadanya.”[18]
Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anh berkata di dalam suatu khutbah setelah wafat
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam: Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam pernah berdiri di tempatku ini pada permulaan tahun — kemudian Abu Bakar
menangis. Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Kalian harus berlaku jujur karena sesungguhnya kejujuran bersama kebajikan dan
keduanya adalah di dalam surga.”[19]
Beberapa Atsar
Ali Radhiyallahu ‘Anh berkata, “Dosa yang paling besar di sisi Allah adalah
kedustaan, dan seburuk-buruk penyesalan adalah penyesalan pada hari kiamat.”
Umar bin Abdul Aziz berkata, “Aku tidak pernah melakukan satu kedustaan
semenjak aku mengikatkan dengan kuat kain sarungku.”
Umar Radhiyallahu ‘Anh berkata, “Orang yang paling kami cintai diantara orang-orang
yang tidak kami lihat adalah orang yang paling baik namanya; apabila kami
melihat kalian maka orang yang paling kami cintai diantara kalian adalah orang
yang paling baik akhlaqnya; apabila kami telah menguji kalian maka orang yang
paling kami cintai diantara kalian adalah orang yang paling jujur ucapannya dan
paling besar amanatnya.”
Dari Maimun bin Abu Syabib, ia berkata: Aku duduk menulis sebuah kitab lalu aku
sampai pada satu huruf yang jika aku menuliskannya maka aku telah menghiasi
kitab tersebut dan berarti aku telah berdusta. lalu aku memutuskan untuk
meninggalkannya, kemudian diserukan dari samping rumah: “Allah meneguhkan
orang-orang yang beriman dengan perkataan yang teguh dalam kehidupan dunia dan
di akhirat” (Ibrahim: 27)
Ibnu ‘Alaihis Salam Sammak berkata, “Aku tidak akan diberi pahala meninggalkan
dusta karena aku meninggalkannya secara terpaksa.”
Ditanyakan kepada Khalid bin Shubaih, “Apakah seseorang disebut pendusta karena
satu kali dusta?” Ia menjawab, “Ya.”
Malik bin Dinar berkata, “Kejujuran dan kedustaan bertarung di dalam hati
hingga salah satunya keluar.”
Umar bin Abdul Aziz berbicara kepada Al Walid bin Abdul Malik tentang sesuatu
lalu Al Walid berkata kepadanya, “Kamu berdusta.” Umar bin Abdul Aziz berkata,
“Demi Allah, aku tidak pernah berdusta semenjak aku tahu bahwa dusta membuat
buruk pelakunya.”
Dusta yang Ditoleransi
Ketahuilah bahwa dusta tidak diharamkan karena dusta itu sendiri tetapi karena
bahaya yang terkandung di dalamnya baik terhadap orang yang diajak bicara atau
orang lain. Tingkatannya yang paling ringan ialah bahwa orang yang diberitahu
meyakini sesuatu tidak sesuai dengan yang sebenarnya sehingga ia menjadi orang
yang tidak mengetahui. Terkadang dusta itu membahayakan orang lain, dan
terkadang ketidaktahuan akan kedustaan yang ada itu memberi manfaat dan
kemaslahatan. Jadi, kedustaan itu mengakibatkan ketidaktahuan sehingga dalam
hal ini kedustaan itu dibolehkan dan terkadang menjadi wajib.
Maimun bin Mahran berkata, “Dusta dalam sebagian perkara lebih baik dari
kejujuran. Bagaimanakah pendapatmu jika ada seseorang yang mengejar orang lain
dengan membawa pedang untuk membunuhnya lalu orang yang dikejar itu masuk
rumah, kemudian orang yang mengejar itu bertanya kepadamu Apakah kamu melihat
si Fulan?” Apa yang akan Anda katakan?
Tidakkah Anda menjawabnya, ‘Tidak tahu?” Anda tentu tidak jujur kepadanya,
tetapi kedustaan ini wajib Anda iakukan.
Pembicaraan adalah sarana untuk mencapai tujuan. Setiap tujuan terpuji yang
bisa dicapai dengan kejujuran dan kedustaan maka melakukan kedustaan dalam hal
ini adalah haram. Jika bisa dicapai dengan kedustaan tetapi tidak bisa dicapai
dengan kejujuran maka berdusta dalam hal ini adalah mubah, jika pencapaian hal
itu memang mubah, atau wajib jika pencapaian tujuan itu sendiri wajib
dilakukan. Sebagaimana melindungi darah seorang Muslim adalah wajib. Jika dalam
kejujuran mengakibatkan tertumpahnya darah seorang Muslim yang bersembunyi dari
seorang yzng zalim maka berdusta dalam kasus ini adalah wajib. Jika tujuan perang
atau perdamaian tidak dapat dicapai secara sempurna kecuali dengan berdusta
maka berdusta dalam kasus ini adalah mubah, hanya saja ia harus menghmdarinya
sedapat mungkin; karena jika telah membuka pintu kedustaan bagi dirinya maka
dikhawatirkan akan melakukannya untuk hal-hal yang sebenarnya tidak
memerlukannya. Dengan demikian, dusta pada dasarnya adalah haram kecuali karena
darurat.
Dalil yang menunjukkan adanya pengecualian ini adalah apa yang diriwayatkan
dari Ummu Kultsum, ia berkata: Aku tidak pernah mendengar Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam memberikan keringanan dalam berdusta kecuali menyangkut tiga
hal: Seseorang yang mengucapkan perkataan untuk tujuan perdamaian, seseorang
yang mengucapkan perkataan dalam perang, dan seseorang yang berbicara kepada
istrinya atai istri yang berbicara kepada suaminya.[20]
Ummu Kultsum berkata: Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Bukanlah pendusta orang yang mendamaikan antara dua orang lalu ia berkata baik
atau mengembangkan kebaikan.” [21]
Asma’ binti Yazid berkata: Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Setiap kedustaan ditulis atas anak Adam kecuali orang yang berdusta antar-dua
orang Muslim untuk mendamaikan keduanya.” [22]
Diriwayatkan bahwa Ibnu Abu ‘Udzrah Ad Da’uli di masa khilalah Umar
Radhiyallahu ‘Anh pernah memberikan pilihan kepada para istrinya untuk meminta
cerai wanita-wanita lalu berkembang berbagai issu yang tidak disukainya. Ketika
mengetahui hal tersebut, ia mengajak Abdullah bin Abul Arqam ke rumahnya kemudian
berkata kepada istrinya: Aku memintamu dengan sangat dengan bersumpah atas nama
Allah, apakah kamu membenciku? Istrinya berkata. “janganlah engkau memintaku
dengan sangat.” Ibnu Abu ‘Udzrah berkata. “Sesungguhnya aku mengingatkanmu
kepada Allah.” Istrinya berkata, “Ya.” Kemudian Ibnu Abu ‘Udzrah berkata kepada
Ibnul Arqam, “Apakah kamu mendengar’?” Kemudian keduanya pergi menemui Umar.
Kemudian Ibnu Abu ‘Udzrah berkata, “Sesungguhnya kalian berbicara bahwa aku
menzalimi istri-istri dan memberikan pilihan untuk meminta cerai. Tanyakanlah
hal itu kepada Ibnul Arqam.” Kemudian Umar menanyakannya kepada Ibnul Arqam
lalu Ibnul Arqam memberitahukannya. Kemudian Umar Radhiyallahu ‘Anh memanggil
istri Ibnu Abu ‘Udzrah lalu istrinya datang bersama pamannya. Umar Radhiyallahu
‘Anh bertanya. “Apakah kamu yang berbicara bahwa kamu membenci suamimu’?” Istri
Ibnu Abu ‘Udzrah menjawab, “Sesungguhnya aku adalah orang yang pertama kali
bertaubat dan kembali kepada perintah Allah. Sesungguhnya dia memintaku dengan
sangat sehingga aku merasa berat untuk berdusta, apakah aku harus berdusta
wahai Amirul Mu’minin?” Umar Radhiyallahu ‘Anh berkata, “Ya, berdustalah. Jika
salah seorang diantara kalian tidak mencintai salah seorang diantara kami maka
janganlah menceritakan hal tersebut. Karena sesungguhnya sangat sedikit rumah
yang dibangun di atas landasan cinta, tetapi orang-orang berinteraksi dengan
Islam dan berbagai pertimbangan.”
Ali Radhiyallahu ‘Anh berkata, “Jika aku menyampaikan hadits dari Nabi
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam maka sungguh aku dijatuhkan dari langit lebih aku
cintai daripada aku berdusta atas namanya. Tetapi jika aku berbicara antara aku
dan kalian maka peperangan adalah tipu daya.”
Ketiga hal tersebut di atas merupakan pengecualian (untuk berdusta) yang disebutkan
secara tegas, sedangkan hal-hal lain bisa disamakan dengannya jika terkait
dengan tujuan yang benar.
Adapun hal yang berkaitan dengan hartanya, adalah seperti orang yang ditangkap
oleh orang zalim lalu menanyakan hartanya maka dia boleh meng-ingkarinya. Atau
penguasa zalim menangkapnya lalu menanyakan tentang kekejian yang pernah
dilakukannya maka dia boleh mengingkarinya dengan mengatakan, “Aku tidak
berzina dan tidak mencuri.” Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Siapa yang melakukan sesuatu dari kenistaan ini maka hendaklah ia menutupi
diri dengan tabir penutup dari Allah.” [23]
Hal itu karena menampakkan kekejian merupakan kekejian yang lain, sehingga
seseorang harus melindungi darah, kehormatan dan hartanya yang diambil secara
zalim. dengan lidahnya sekalipun dengan berdusta.
Adapun kehormatan orang lain, adalah seperti orang yang menanyakannya tentang
rahasia saudaranya maka dia boleh mengingkarinya. Atau untuk mendamaikan
antar-dua orang yang bertengkar, atau mendamaikan antar-para istri; dengan
memperlihatkan kepada masing-masing istrinya bahwa dia paling dicintainya. Jika
istrinya tidak mau memperturutkan kemauannya kecuali dengan suatu janji yang
tidak mampu dilakukannya kemudian dia menjanji-kannya pada saat itu juga demi
untuk menyenangkan hatinya, atau meminta maaf kepada seseorang tetapi hati
orang itu tidak bisa menerimanya kecuali dengan mengingkari suatu dosa dan
meningkatkan kebaikan maka tidak ada dosa atasnya. Tetapi batasannya adalah
bahwa dusta tersebut terlarang dan sekiranya dia jujur dalam kasus itu niscaya
akan menimbulkan larangan yang Iain. Karena itu, ia harus menimbang yang satu
dengan yang lain dan mengukurnya dengan ukuran yang adil. Jika diketahui bahwa
larangan yang terjadi akibat kejujuran itu lebih berat dalam pandangan syari’at
ketimbang kedustaan maka dia dibolehkan berdusta. Jika tujuan itu lebih ringan
ketimbang tujuan kejujuran maka dia wajib berlaku jujur. Bisa jadi keduanya
(kejujuran dan kedustaan) berimbang, sehingga pada saat tersebut cenderung kepada
kejujuran adalah lebih baik, karena dusta itu dibolehkan hanya untuk darurat
atau keperluan yang penting. Jika ragu apakah keperluan itu sangat penting maka
pada dasarnya adalah haram sehingga dia harus kembali kepada kejujuran.
Mengingat sulitnya mengetahui berbagai tingkatan tujuan maka seharusnya manusia
menghindari kedustaan sebisa mungkin. Demikian pula, sekalipun keperluan itu
sangat penting tetapi dianjurkan untuk meninggalkan keperluannya dan
meninggalkan dusta. Tetapi jika tujuannya itu berkaitan dengan tujuan orang
lain maka tidak boleh meremehkan dan membahayakan hak orang lain. Kebanyakan
kedustaan manusia adalah karena kepentingan pribadinya, atau untuk mendapatkan
tambahan harta, kedudukan dan hal-hal lain yang bila tidak didapatkan tidak akan
menimbulkan larangan. Bahkan seorang istri berdusta dengan menceritakan tentang
hal yang bisa dibanggakan dari suaminya demi untuk menyakiti madunya. Ini
adalah perbuatan yang terlarang. Asma’ berkata: Aku pernah mendengar seorang
wanita bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam seraya berkata,
“Sesungguhnya aku punya seorang madu dan aku banyak menceritakan tentang
suamiku dengan hal-hal yang tidak dilakukannya demi untuk menyakitinya, maka
apakah aku berdosa?”
Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Orang yang pura-pura kenyang dengan sesuatu yang tidak diberikan adalah
seperti orang yang memakai dua baju palsu.” [24]
Termasuk dalam kategori ini adalah fatwa seorang ulama tentang sesuatu yang
tidak bisa terwujudkan dan periwayatan hadits yang tidak ditelitinya. karena
tujuannya adalah sekadar menampakkan keunggulan dirinya. Oleh karena itu, dia
enggan untuk mengatakan, ‘Aku tidak tahu’. Tentu saja hal ini diharamkan. Hal
yang bisa dikategorikan dengan wanita adalah anak-anak. Karena anak-anak tidak
mau pergi ke perpustakaan kecuali dengan dijanjikan atau diancam dengan janji
dan ancaman palsu, maka hal ini dibolehkan. Memang kami pernah meriwayatkan
dalam beberapa hadits bahwa hal itu ditulis sebagai kedustaan, tetapi kedustaan
yang dibolehkan itu juga bisa jadi ditulis (sebagai dosa) dan dituntut untuk
meluruskan niatnya lalu dimaafkan. Karena ia dibolehkan untuk tujuan
mendamaikan. Namun tujuan ini terkadang tersusupi berbagai tipu daya. sebab
bisa jadi pendorongnya adalah kepentingan-nya yang tidak diperlukan; ia hanya
beralasan secara lahiriah bahwa apa yang dilakukannya untuk mendamaikan. Ini
jelas ditulis sebagai dosa. Setiap orang yang telah malakukan satu kedustaan
maka sesungguhnya dia telah masuk pada bahaya ijtihad untuk mengetahui bahwa
tujuan yang membolehkannya berdusta itu apakah lebih penting dalam syari’at
daripada kejujuran atau tidak’? Hal ini sangat rumit. Sebaiknya ditinggalkan
kecuali jika telah menjadi sesuatu yang wajib dilakukan dan tidak bisa
ditinggalkan, misalnya jika ditinggalkan akan mengakibatkan tertumpahnya darah
atau kemaksiatan.
Orang-orang mengira bahwa memalsukan hadits tentang berbagai keutamaan amal dan
kecaman terhadap berbagai kemaksiatan itu dibolehkan. Mereka mengaku bahwa
tujuan hal tersebut adalah benar. Ini tentu merupakan kesalahan besar. Sebab,
Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah ia menyiapkan
tempat duduknya dari api neraka.”[25]
Sebab dalam kejujuran terdapat kecukupan sehingga tidak memerlukan kedustaan.
Ayat-ayat dan hadits-hadits yang berbicara tentang berbagai keutamaan amal dan
kecaman terhadap berbagai kemaksiatan, telah memadai sehingga tidak memerlukan
tambahan lain.
Bila ada orang yang mengatakan bahwa ayat-ayat dan hadits-hadits itu terlalu
sering diulang-ulang sehingga kehilangan gregetnya sedangkan “hadits” yang baru
punya greget yang lebih kuat, maka pernyataan ini merupakan pemikiran yang
tidak sehat, karena hal ini tidak termasuk tujuan-tujuan yang dapat
menghapuskan larangan berdusta atas Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan
Allah, bahkan ia akan membuka pmtu bagi perkara-perkara yang mengeruhkan
syari’at. Disamping bahwa berdusta atas Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
adalah merupakan dosa besar. Kita memohon ampunan kepada Allah bagi kita dan
semua kaum Muslimin.
Peringatan dari Berdusta dengan Bahasa Kiasan
Diriwayatkan dari generasi salaf bahwa dalam penggunaan bahasa kiasan dapat
menghindarkan diri dari dusta. Umar Radhiyallahu ‘Anh berkata, “Tidakkah dalam
bahasa kiasan terdapat sesuatu yang dapat menghindarkan seseorang dari
kedustaan’?” Hal itu juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan lainnya. Maksud-nya,
apabila manusia terpaksa harus berdusta. Jika tidak ada keperluan dan darurat maka
tidak boleh (berdusta) dengan bahasa kiasan dan secara terus terang, tetapi
bahasa kiasan lebih ringan (dosanya).
Contoh bahasa kiasan adalah riwayat yang menyebutkan bahwa Muthrif masuk
menemui Ziad, kemudian Ziad menunda-nunda dengan alasan sakit dan berkata, “Aku
belum mengangkat lambungku semenjak aku berpisah dengan Amir, kecuali apa yang
Allah telah mengangkatnya.”
Mu’adz bin Jabal pernah bertugas di Yaman. Ketika kembali, istrinya bertanya
kepadanya, “Apa yang kamu bawa diantara sesuatu yang biasa dibawa oleh para
petugas kepada keluarga mereka’?” Sebenarnya Mu’adz tidak membawa sesuatu,
tetapi ia berkata, “Aku punya pengawal.” Istrinya berkata, “Aku pernah menjadi
orang yang diberi amanat oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Abu Bakar Radhiyallahu
‘Anh (tetapi tanpa pengawal), kemudian Umar menugaskanmu dengan disertai
pengawal?” Kemudian istri Mu’adz mendatangi Umar mengadukan hal tersebut
kepadanya. Kemudian Umar memanggil Mu’adz lalu bertanya, “Apakah kamu diutus
dengan memhawa pengawal’?” Mu’adz menjawab, “Aku tidak menemukan alasan yang
bisa aku pergunakan kepadanya kecuali hal itu.” Kemudian Umar tersenyum dan
memberinya sesuatu seraya berkata, “Senangkanlah dia dengannya.” Pengawal yang
dimaksudnya adalah pengawas yakni Allah.
An Nakha’i tidak pernah berkata kepada anak perempuannya, “Aku akan membelikan
gula-gula untukmu”, tetapi dia berkata, “Bagaimana pendapatmu jika aku
membelikan gula-gula untukmu?” Karena siapa tahu dia tidak dapat memenuhinya.
Apabila ada orang yang mencarinya sedangkan ia tidak suka untuk keluar
menemuinya, Ibrahim biasanya berkata kepada anak perempuannya, “Katakan-lah
kepadanya, ‘Carilah dia di masjid’, dan janganlah kamu mengatakan ‘tidak ada di
sini’agar kamu tidak berdusta.”
Apabila ada orang yang mencarinya di rumah sedangkan ia tidak suka kepadanya,
Asy Sya’bi biasanya membuat satu lingkaran lalu berkata kepada anak
perempuannya, “Letakkan jari-jari di dalamnya dan katakan tidak ada di sini.”
Itu semua untuk suatu keperluan. Jika tidak ada keperluan maka tidak
diperbolehkan, karena hal ini memberikan pemahaman bahwa dia berdusta.
sekalipun lafazhnya tidak berdusta. Singkatnya, hal ini makruh, sebagaimana
diriwayatkan bahwa Abdullah bin Utbah berkata. “Aku bersama bapakku pernah
masuk menemui Umar bin Abdul Aziz kemudian aku keluar dengan membawa kain, lalu
orang-orang berkata, “Amirul Mu’minin telah membe-rimu kain?” Aku berkata,
“Semoga Allah membalas kebaikan kepada Amirui Mu’minin.” Kemudian bapakku
berkata kepadaku, “Wahai anakku, hindarilah berkata dusta dan yang serupa
dengannya.'” Kemudian bapaknya melarangnya dari hal tersebut, karena hal
tersebut mengandung pengukuhan terhadap persangkaan yang tidak benar dengan
tujuan membanggakan. Ini adalah tujuan yang batil dan tidak bermaniaat.
Diantara dusta yang tidak mengakibatkan kefasikan ialah apa yang sudah menjadi
tradisi dalam mubalaghah (melebih-lebihkan dengan maksud mempertegas), seperti
perkataan, “Aku telah mencarimu berkali-kali dan aku telah berkata kepadamu
demikian seratus kali.” Ia tidak bermaksud menyebutkan berapa kali ia telah
melakukan hal tersebut tetapi sekadar untuk mubalaghah (penegasan). Jika
pencariannya hanya satu kali maka dia berdusta. tetapi jika pencariannya
beberapa kali sehingga tidak terhitung banyaknya maka dia tidak berdusta
sekalipun tidak sampai seratus kali.
Diantara hal yang terhitung dusta dan dianggap enteng oleh orang adalah jawaban
Anda ‘saya tidak suka’ kepada orang yang mempersilahkan ‘silahkan makan’,
padahal Anda menyukainya. Ini dilarang dan haram.
Al Laits bin Sa’ad berkata, “Kedua mata Sa’id bin Al Musayyab pernah belekan
sehingga beleknya keluar dari kedua matanya, lalu dikatakan kepadanya. “Mengapa
tidak kamu usap kedua matamu?” Sa’id bin Al Musayyab berkata. “Bagaimana dengan
nasihat dokter, ‘Janganlah kamu menyentuh kedua matamu’. Lalu aku berkata, ‘Aku
tidak akan melakukannya?’ “
Ini adalah rasa muraqabah orang yang wara’. Siapa yang meninggalkan sifat wara’
maka lidahnya akan mengucapkan kedustaan tanpa disadarinya.
Terkadang seseorang berdusta dalam menceritakan mimpinya, padahal-hal ini
mengandung dosa yang sangat besar, karena Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
pernah bersabda:
merangkai antara dua rangkaian yang tidak bisa dirangkaikan selama-lamanya. (sumber : Islamedia.co)