Budilaksonoputra…..Sistem
pembelajaran bisa jadi tak bermakna bila tampa adanya refeksi terlebih dahulu.
Semua berjalan rutin dan kerap kehilangan gairah. Meski telah berlangsung dalam
rentang waktu lama, guru dan murid tak mampu maknai hikmah yang terserak di
ruang kelas.
Pengalaman berharga apa yang bisa mereka ambil setelah mengalami aktivitas
pembelajaran. Guru tak paham esensi mengajar. Sebaliknya, murid pun tak punya
kesadaran diri, mengapa mereka harus belajar. Mengapa ini bisa terjadi?. Pertanyaan
ini mengingatkan saya atas pengalaman mengesankan melihat praktik mengajar
Kubochi sensei dan Sasabe sensei beberapa tahun silam. Saat itu mereka
melakukan praktikum dalam pembelajaran sains. Saya cermati dokumen lembar kerja
untuk murid. Menarik.
Mereka memberikan kolom khusus bagi murid untuk melakukan penilaian diri
(self-assessment). Apakah kamu bekerja sama? Apakah kamu berpikir dengan baik?
Apakah kamu berpartisipasi secara aktif? Apakah kamu paham? Anak diberi pilihan
sikap dalam rentang skor 1 (buruk) sampai 5 (baik) untuk menjawab setiap
pertanyaan. Pilihan mereka, itulah isi pikiran mereka. Tak jarang, perasaan mereka
memengaruhi jawaban mereka. Informasi berharga bagi guru, apa yang telah
terjadi dengan murid-muridnya. Apa yang ada di pikiran dan perasaan para murid.
Bukan hanya melulu bicara, apakah nilai mereka bagus atau jelek. Tapi, mengapa
mereka bisa mendapat nilai bagus atau jelek? Justru, itulah inti persoalannya.
Self-assessment is used by learners to evaluate and monitor their own level of
knowledge, performance and understanding and to get information about their
learning (Cariaga-Lo, Richards and Frye, 1992). Penilaian diri ini sangat
bermanfaat untuk melihat apa yang terjadi dengan pembelajaran dari perspektif
murid. Lewat proses penilaian
diri, murid akan mampu belajar tentang dirinya sendiri dan menjadi sadar
bagaimana mereka bisa belajar. Itulah keterampilan metakognitif, belajar
bagaimana cara belajar (learning how to learn). Sejatinya, penilaian diri
membantu murid lebih bertanggung jawab terhadap proses belajar mereka dan
memonitor perkembangan belajar mereka di masa depan.
Assessment is regarded as a process o collecting, synthesizing and interpreting
information in order to make decisions on studnet performance (Airasian, 1994). Dalam konteks asesment, ada 3 tujuan
asesmen, yaitu assessment of learning, assessment for learning, dan assessment
as learning. Assessment of learning bicara soal hasil belajar murid. Tujuan
penilaian ini bersifat sumatif.
Biasanya menentukan kenaikan kelas atau kelulusan
murid dari satu jenjang pendidikan tertentu. Guru punya tanggung jawab untuk
melaporkan hasil belajar murid (kognitif, afektif, atau psikomotorik) secara
akurat dan fair dengan merujuk pada bukti pengumpulan informasi yang efektif
dan valid. Kebalikan dari assessment of learning adalah assessment for
learning. Assessment for learning bersifat formatif dan dilakukan sepanjang
pembelajaran berlangsung. Tujuannya untuk mendiagnostik dan menemu-kenali apa
yang sudah diketahui dan bisa dilakukan murid, serta kesulitan belajar seperti
apa yang dihadapi murid.
Informasi profil belajar murid dari assessment for learning bukan merupakan
hasil akhir yang menentukan posisi murid (tuntas atau tidak, naik kelas atau tidak,
lulus atau tidak). Peran guru yang amat penting dalam konteks assessment for
learning adalah memberikan umpan balik terhadap kelemahan-kelemahan belajar
yang dialami muridnya.
Harapannya, pada saat dilakukan assessment of
learning, performa belajar murid memungkinkan dirinya bisa sukses melewati satu
standar ukuran penilaian tertentu yang dipersyaratkan sekolah.
Terakhir, assessment as learning. Tujuan assessment as learning adalah untuk
membekali murid keterampilan menjadi pemikir reflektif dan pembelajar mandiri.
Murid-murid terbiasa melakukan refleksi diri dengan melontarkan pertanyaan
seperti,
“Apa tujuan
saya mempelajari konsep ini? Apa yang saya ketahui tentang topik pelajaran ini?
Strategi belajar seperti apa yang bisa membantu saya belajar suatu topik
pelajaran tertentu? Apakah saya paham dengan konsep ini? Apakah yang harus saya
lakukan untuk meningkatkan hasil belajar saya?”
Dalam bentuk yang sederhana, Kubochi sensei dan Sasabe sensei sudah praktikkan
konsepsi assessment as learning dalam konteks pembelajaran. Beberapa pertanyaan
reflektif yang melatih murid untuk merefleksi pemahaman dan kesadaran diri
mereka atas proses belajar yang telah dialami.
Mustahil lahir para pembelajar reflektif jika guru tak lakukan proses refleksi
diri terlebih dahulu. Korthagen (1993) menyatakan, “Reflection or reflective
teaching involves teachers using their beliefs about teaching and learning to
analyse the situation critically and therefore they will take more
responsibility for their own action in class”. Jika guru tahu bahwa dirinya tak tahu
soal manfaat refleksi diri, belajarlah.
Yang sulit,
guru punya sikap tak mau tahu. Kalau assessment of learning dan assessment for
learning biasa diterapkan dalam konteks penilaian hasil belajar murid, mengapa
assessment as learning tak sungguh-sungguh dipraktikkan juga? Karena dengan
assessment as learning, guru dan murid sama-sama belajar menjadi pemikir
reflektif. Satu keterampilan
hidup yang kerap diabaikan tentang thinking how to think, learning how to
learn, learning how to teach, dan teaching how to learn. Sesuatu yang tak bisa
dihitung dalam format angka, tapi amat berharga untuk masa depan guru dan
murid.
Bagi guru, ada banyak cara dan alat yang bisa digunakan guru untuk melakukan
refleksi mengajar. Bisa melalui pemaknaan terhadap hasil belajar murid, hasil
wawancara dengan murid terkait profil mengajar guru, observasi kelas, menulis
jurnal pembelajaran, focus group discussion, dan rekaman pembelajaran di kelas.
Guru dituntut memiliki ‘kedewasaan’ untuk mulai
melatih dirinya sendiri dan murid jadi pemikir reflektif dan pembelajar mandiri
melalui aktivitas assessment as learning. Entah dewasa karena terbentur-bentur
dalam masalah mengajar sehari-hari. Atau dewasa karena sungguh-sungguh
mengambil hikmah dari pengalaman belajar para murid, pengalaman mengajar guru
lain, atau pengalaman mengajar dari dirinya sendiri.
Seperti pernyataan John Dewey di awal tulisan, tanpa refleksi, guru dan murid
takkan pernah bisa belajar dari pengalaman mereka sendiri. Belajar tanpa makna,
gagal memaknai episode pembelajaran. Tak ada salahnya belajar dari kebiasaan
berpikir reflektif para guru di Finlandia. Mereka gemar berintrospeksi diri.
Tirulah dan maknai apa yang kerap diucapkan mereka, “Apakah ada yang salah
dengan cara mengajar saya?”
( Sumber dari Republika )